Kebudayaan merupakan jiwa peradaban. Penganut mazhab jerman lebih jauh mengatakan bahwa kebudayaan adalah apa yang kita dambakan sedangkan peradaban (sebagai perluasan dari kebudayaan) adalah apa yang kita pergunakan. Kebudayaan tercermin dalam seni, bahasa, sastra, aliran pemikiran, falsafah dan bentuk-bentuk spiritualitas dan kebijakan moral, serta dalam ilmu-ilmu teoritis yang dikembangkan dan dihasilkan dalam suatu bangsa. Peradaban tercermin dalam politik praktis, ekonomi, teknologi, ilmu terapan, sopan santun, pelaksanaan hukum, ilmu kedokteran, dan sebagaimya. Peradaban yang sedang berkembang dalam masyarakat mungkin saja tidak berakar pada kebudayaan masyarakat atau bangsa bersangkutan, seperti dialami bangsa Indonesia sejak pemerintah kolonial memaksakan struktur kehidupan sosial, politik, dan ekonominya hingga sekarang. Jika demikian maka peradabannya itu mudah rapuh dan rentan terhadap goncangan.
Negara berperan penting dalam berkembangnya kebudayaan. Menurut Ibnu Khaldun, kebudayaan ialah kondisi-kondisi kehidupan yang melebihi dari sekadar apa yang diperlukan. Kehidupan semacam itu tidak akan berkembang benar-benar kecuali di kota. Karena itu kebudayaan sangat erat dengan negara, yang pusat pemerintahannya berada di kota dan menjadikan kota sebagai urat nadi kehidupan sebuah negara. Adanya negara yang melindungi kebudayaan untuk berkembang subur, maka suatu kebudayaan akan dapat maju. Dengan adanya kebudayaan pula sebagai landasan hidup bernegara dan bermasyarakat maka negara akan mempunyai tujuan spiritual yang jelas. Begitu pula nilai-nilai moral dan kebajikan, seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan, dijamin berkembang.
Pernyataan ini disambut oleh Will Durrant dalam bukunya The Story of Civillization (1955) yang mengatakan bahwa kebudayaan dimulai ketika pergolakan, kekacauan dan keresahan telah reda. Yaitu setelah ditransformasikan ke dalam pemikiran, kebajikan, seni, dan pengetahuan. Sebab, apabila manusia telah aman dan bebas dari rasa takut, maka akan timbul dalam dirinya dorongan-dorongan untuk mencari berbagai rangsangan alamiah dan tidak henti-hentinya melangkah di jalannya untuk memahami dan memekarkan kehidupan.
Dari beberapa telaahan di atas, kita bisa melihat bahwa proses budaya dan pembudayan tidak lepas dari pertanyaan “bagaimana sebuah masyarakat?” Dari sini bisa ditarik garis lurus bahwa apa yang dilakukan masyarakat dalam sebuah batasan kultur melakukan kegiatan-kegiatannya yang mencerminkan peradaban dan tingkat budayanya. Masyarakat kita belakangan ini cenderung lebih mengedepankan faktor ekonomi dalam tujuan hidup dan motor penggerak sendi-sendi hidupnya. Orientasi kehidupan seputar perut dan dibawah perut membuat sebuah keniscayaan terjadinya dekadensi moral dan nilai kebajikan dalam diri sebuah masyarakat. Hal ini jauh dari tujuan sebuah kebudayaan yang menghendaki peningkatan martabat suatu bangsa dengan meninggikan kecerdasan, kebajikan, dan kreativitasnya. Jika kegiatan komersil dimaksudkan untuk meraih keuntungan meteril sebesar-besarnya, kebudayaan dimaksudkan untuk meningkatkan mutu kehidupan spiritual dan kondisi kemanusiaannya.
Pada akhirnya, kebudayaan yang bertabrakan dengan konsep materialis, menisbikan peran instrumen-instrumen budaya dalam kehidupan bermasyarakat. Hal inilah yang menyebabkan dewasa ini, sastra sebagai sebuah instrumen budaya kehilangan tempatnya yang mulia sebagai unsur penting pembangun moral dan kebajikan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, bahwa sastra “pernah” menjadi sebuah motor pemberadaban, bahkan perjuangan, ketika Indonesia memasuki masa transisi dari penjajahan menuju alam merdeka. Sebagai insan budaya, hal ini mungkin kerap kita dengar dan banggakan. Namun, bagaimana halnya dengan tukang ojek dan para pekerja kantin? Apakah mereka pernah mendengar hal yang membanggakan ini? Pertanyaan ini berpulang kembali pada kenyataan bahwa para pelaku ekonomi itu lebih disibukkan oleh kegiatan ekonomi mereka ketimbang berasyik masyuk dengan masalah budaya, terlebih sastra.
Bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari. Sastra sebagai sebuah kajian juga terdepak dari kurikulum. Tergeser tempatnya oleh kajian yang diasumsikan lebih penting seperti matematika. Pendapat-pendapat seperti “Tidak ada waktu lagi untuk mengaji sastra” atau yang paling parah “Karena sastra tidak membawa kita pada kesejahteraan” jelas menjadi alasan kenapa pengajian sastra disingkirkan dalam percaturan kurikulum pendidikan nasional. Indonesia yang menekankan perlunya mengejar ketinggalan dalam berbagai aspek pasca penjajahan, ternyata tidak menempatkan masalah budaya pada tempatnya. Entah bagaimana, pergulatan pemikiran para pendahulu dalam merumuskan budaya, yang termaktub dalam buku Polemik Kebudayaan, tidak serta-merta menjadikan masalah budaya menjadi masalah dengan nilai urgensitas yang penting. Kelanjutan dari hal ini memberi kita gambaran yang jelas asal-usul nilai dasar bangsa kita yang kabur dan gegar budaya menjadi niscaya.
Kita telah melalui tiga periode pemerintahan dan ketiganya tidak ada yang menempatkan budaya sebagai masalah yang penting. Budaya luar bebas masuk tanpa ada saringan yang jelas. Sastra, dalam hal ini selayaknya dapat mengambil peranan yang besar untuk membentuk budaya Indonesia hingga menghasilkan peradaban yang tinggi dan mulia. Namun, ketika para pelaku sastra juga tidak jelas dalam mengangkat nilai budaya mana, apakah tradisional, modern, atau apapun itu, maka memerlukan sebuah kritik yang berwibawa, yang dapat memberikan kita penilaian yang benar akan apresiasi sebuah karya. Hal inilah yang hilang sejak Hamka dan HB Jassin berpulang meninggalkan arena sastra Indonesia. Hamka, sebagai representasi ulama dengan tradisi kesastraan yang kuat mengalir dalam darahnya, dapat memberi arahan dan pertimbangan yang baik tentang nilai-nilai yang dikandung sebuah karya sastra. HB Jassin, sebagai seorang kritikus sastra dengan wawasan luas, tidak bisa tidak menjadi rujukan pula dalam menilai sebuah karya sastra. Namun, khusus untuk Hamka, ketiadaan lagi ulama yang berkutat dalam masalah sastra dan budaya seperti beliau telah menimpangkan sebuah pondasi kebudayaan ummat. Padahal, pada zaman Nabi sempat terjadi sebuah diskusi yang menarik antara beliau dan sahabatnya. Ketika surat As-Syua’ra ayat 24-27 turun,
Penyair-penyair itu diikuti orang-orang yang sesat. Tidakkah kau lihat mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah khayalan dan kata. Dan mereka sering mengujarkan apa yang tak mereka kerjakan. Kecuali mereka yang beriman, beramal baik, banyak mengingat dan menyebut Allah dan melakukan pembelaan ketika didzalimi. (QS As-Syu'ara, 24-27)
maka Hasan bin Tsabit dan Ibnu Rawahah yang dikenal sebagai penyair-penyair muslim, cepat-cepat menghadap Nabi SAW dan berkata. “Wahai Rasulullah, ayat tersebut telah turun, dan engkau sungguh mengetahui bahwa kami ini adalah penyair.“ Nabi kemudian bersabda , “Sesungguhnya orang mukmin berjuang melalui pedang dan lidah (tinta)-nya.
At-Tahawani kemudian mengutip pendapat al-Baidhawi dalam menafsirkan ayat tersebut. Menurutnya, memang sebagian besar penyair saat itu hanya mengungkapkan khayalan-khayalan yang jauh dari kebenaran, dan sebagain besar dari mereka itu telah mengumbar syahwatnya melalui kata-kata berkaitan dengan cinta dan pencabulan, cumbu rayu, menyebut sifat perempuan dan bentuk tubuhnya dengan telanjang, laksana mereka melihat onta di hadapannya, janji dusta, dan bangga dengan sesuatu yang tidak benar, juga hinaan kepada sesamanya.
Kemudian, dia menjelaskan Firman Allah selanjutnya, "Kecuali orang-orang yang beriman", sebagai pengecualian penyair mukmin yang baik, yang sering mengingat Allah, dan dorongan untuk memegang pada norma atau etika, seperti menjaga kemaluan, penyeruan untuk beribadah kepada Allah, bersilaturahim dan semacamnya (At-Tahawani, Kasyaf Isthilahat al-Funun, Juz II, hlm 744-755).
Dari sini kita dapat melihat bahwa Islampun telah mengatur dan mengarahkan “jalan yang lurus” bagi sastra itu sendiri. Sastra seperti itulah, yang mengajak untuk mengingat Allah, yang mendorong untuk memegang norma dan etika, yang dapat turut membangun sebuah peradaban Islam dengan membangun pondasi budaya yang kuat.
Prinsip sastra sebagai cerminan kenyataan, dibuat untuk merefleksikan kenyataan dan diejawantahkan dalam sebuah ekspresi dengan bahasa sebagai medianya, yang pada akhirnya hasil refleksi itu dapat memperlihatkan kenyataan itu dengan lebih jelas. Kejelasan kenyataan, itulah yang dikejar sastra. Sastra selayaknya bukanlah hal yang sekadar mengawang-awang mengejar capaian estetika, meninggalkan kenyataan tempat dia berasal. Sastra bukanlah alat pelarian kita dari kenyataan namun justru menguatkan keberadaan kita dalam kenyataan itu sendiri. Sehingga, diharapkan setelah kita bergumul dalam sebuah karya, kita dapat kembali pada kenyataan dan membangun kenyataan itu dengan kesadaran yang kita dapatkan dalam karya tadi. Di sinilah pentingnya sosok pembimbing, orang-orang yang mumpuni, otoritas dalam dunia sastra, sebagai rujukan dalam menelaah sastra.
Jika melihat kondisi Indonesia saat ini, Sastra sebagai instrumen budaya akhirnya masih kehilangan ruh-nya. Jadi, merupakan hal yang wajar ketika seorang Putu Wijaya sampai mengatakan “Sastra gagal dalam pemberadaban”. Ini bukan pendapat final. Jika saja ada orang-orang yang peduli dan bangkit dari duduk-duduknya, membangun budayanya, mengajak kepada kebaikan juga menjauhi kemunkaran, maka kita bisa berkata lain. Andai harapan itu memang masih ada, namun, masih adakah orang yang berharap pada budayanya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar